Kamis, 05 November 2009

MOTIVASI KERJA

MOTIVASI KERJA
Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula (Suprihanto dkk, 2003:41).

Pengertian Motivasi Kerja
Untuk mempermudah pemahaman motivasi kerja, dibawah ini dikemukakan pengertian motif, motivasi dan motivasi kerja. Abraham Sperling (dalam Mangkunegara, 2002:93) mengemukakan bahwa motif didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri- Penyesuaian diri dikatakan untuk memuaskan motif. William J. Stanton (dalam Mangkunegara, 2002:93) mendefinisikan bahwa motif adalah kebutuhan yang di stimulasi yang berorientasi kepada tujuan individu dalam niencapai rasa puas. Motivasi didefinisikan oleh Fillmore H. Stanford (dalam Mangkunegara, 2002:93) bahwa motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motif
merupakan suatu dorongan kebuluhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar
pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan
motivasi adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai
tujuan dari motifrtya. Sedangkan motivasi dikatakan sebagai energi untuk
membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal). Dalam hubungannya dengan
lingkungan kerja, Ernest L. McCormick (dalam Mangkunegara, 2002:94)
mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang
berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang
berhubungan dengan lingkungan kerja.
*) Sumber : Mangkunegara (2002:94)
Gambar 2.3
Motivasi sebagai Pembangkit Dorongan
4.2. Teori Motivasi Kerja
Teori Kebutuhan (Maslow’s Model)
Model Maslow Ini sering disebut dengan model hierarki kebutuhan. Karena
menyangkut kebutuhan manusia, maka teori ini digunakan untuk menunjukkan
butuhan seseorang yang harus dipenuhi agar individu tersebut termotivasi untuk
kerja.
Menurut Maslow, pada umumnya terdapat hicrarki kebutuhan manusia, yang
pat dilihat pada Gambar 2.4 :
Sumber : Arep Ishak & Tanjung Hendri (2003:26)
Gambar 2.4
Maslow’s Need Hierarchy
1. Kebutuhan fisiologik (physiological needs), misalnya makanan,
minuman, istirahat/tidur, seks. Kebutuhan inilah yang merupakan kebutuhan
pertama dan utama yang wajib dipenuhi pertama-tama oleh tiap individu. Karena
dengan terpenuhinya kebutuhan ini, orang dapat mempertahankan hidup dari
kematian. Kebutuhan utama inilah yang mendorong setiap individu untuk
melakukan pekerjaan apa saja, karena ia akan memperoleh imbalan, baik berupa
uang atau pun barang yang akan digunakan untuk memenuhi kebuluhan utama ini.
2. Kebutuhan aktualisasi dirt, yakni senantiasa percaya kepada diri
sendiri. Pada puncak hirarki, terdapat kebutuhan untuk realisasi diri, atau
aktualisasi diri. Kebuluhan-kebutuhan tersebut berupa kebutuhan-kebutuhan
individu unluk merealisasi potensi yang ada pada dirinya, untuk mencapai
pengembangan diri secara berkelanjutan, untuk menjadi kreatif.
b. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
M = f ( R & C )
M = Motivasi
R = Reward (penghargaan) – primer/sekunder
C = Consequens (Akibat) – positif/negative
Motivasi seseorang bekerja tergantung pada reward yang diterimanya dan
punishment yang akan dialaminya nanti (Arep Ishak & Tanjung Hendri, 2003:35-
37).
Penguatan adalah segala sesuatu yang digunakan seorang pimpinan untuk
meningkatkan atau mempertahankan tanggapan khusus individu. Jadi menurut
teori ini, motivasi seseorang bekerja tergantung pada penghargaan yang
diterimanya dan akibat dari yang akan dialaminya nanti. Teori ini menyebutkan
bahwa perilaku seorang di masa mendatang dibentuk oleh akibat dari perilakunya
yang sekarang.
Jenis reinforcement ada empat, yaitu: (a) positive reinforcement (penguatan
positif), yaitu penguatan yang dilakukan ke arah kinerja yang positif; (b) negative
reinforcement (penguatan negatif), yaitu penguatan yang dilakukan karena
mengurangi atau mcnghentikan keadaan yang tidak disukai. Misalnya, berupaya
cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan karena tidak tahan mendengar atasan
mengomel terus-menerus; (c) extinction (peredaan), yaitu tidak mengukuhkan
suatu perilaku, sehingga perilaku tersebut mereda atau punah sama sekali. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan; (d) punishment, yaitu
konsekuensi yang tidak menyenangkan dari tanggapan perilaku tertentu.
Reward adalah pertukaran (penghargaan) yang diberikan perusahaan atau
jasa yang diberikan penghargaan, yang secara garis besar terbagi dua kategori,
yaitu: (a) gaji, keuntungan, liburan; (b) kenaikan pangkat dan jabatan, bonus,
promosi, simbol (bintang) dan penugasan yang menarik.
Sistem yang efektif untuk pemberian reward (penghargaan) kepada para
karvawan harus: (a) mcmenuhi kebutuhan pegawai; (b) dibandingkan dengan
reward yang diberikan oleh perusahaan lain; (c) di distribusikan secara wajar
dan adil; (d) dapat diberikan dalam berbagai bentuk; (e) dikaitkan dengan prestasi.
c. Teori Harapan (Expectacy Theory)
Teori ekspetansi menyatakan bahwa motivasi kerja dideterminasi oleh
keyakinan-keyakinan individual sehubungan dengan hubungan upaya-kinerja, dan
di dambakannya berbagai macam hasil kerja, yang berkaitan dengan tingkat kinerja
yang berbeda-beda. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori tersebut
berlandaskan logika: “Orang-orang akan melakukan apa yang dapat mereka
lakukan, apabiia mereka berkeinginan untuk rnelakukannya”.
Vroom (dalam Winardi, 2002:109-110) berpendapat bahwa motivasi
terhadap kerja merupakan hasil dari ekspektansi kali instrumentalitas, kali valensi.
Hubungan multiplikatif tersebut berarti bahwa daya tarik motivasional jalur
pekerjaan tertentu, sangat berkurang, apabiia salah satu di antara hal berikut:
ekspektansi, jnstrumentalilas, atau valensi mendekati nol. Sebaliknya agar imbalan
tertentu memiliki sebuah dampak motivasional tinggi serta positif, sebagai hasil
kerja, maka ekspektansi, inslrumentalitas, dan valensi yang berkaitan dengan
imbalan tersebut hams tinggi serta positif.
Motivasi – Ekspektansi x Instrumen x Valensi (M = E x I x V) Hubungan
antara motivasi seseorang melakukan suatu kegiatan dengan kinerja yang akan
diperolehnya yakni apabila motivasinya rendah jangan berharap hasil kerjanya
(kinerjanya) baik. Motivasi dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan pribadi seperti
rasa tertarik atau memperoleh harapan.
*) Sumber : Schermerhon et al (dalam Winardi, 2002:110)
Gambar 2.5
Istilah-istilah Ekspektansi dipandang dari sudut Perspektif Manajerial
Selain teori ekspektansi diatas, terdapat teori motivasi dengan model lain
yang dirumuskan sebagai berikut:
M={(E – P)} {(P – O) V}
Penjelasarmya adalah:
M = Motivasi
E = Pengharapan (Expectation)
P = Prestasi (Performance)
O = Hasil (Outcome)
V = Penilaian (Value)
Secara sederhana, dalam teori ini, motivasi merupakan interaksi antara
harapan sctelah dikurangi prestasi, dengan kontribusi penilaian yang dikaitkan
dengan prestasi dikurangi hasil. Karena kebutuhan di atas merupakan generalisasi
karena kenyataannya kebutuhan orang tidak sama, maka dikenai The Expectacy
Model yang menyatakan. “Motivasi adalah fungsi dari berapa banyak yang
diinginkan dan berapa besar kemungkinan pencapaiannya” (lihat Gambar 2.6).
Dari teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meningkatkan
motivasi, maka seorang seorang manajer harus (Arep Ishak & Tanjung Hendri,
2003:32-34):
1. Mengakui bahwa setiap karyawan memiliki kebutuhan yang berbeda dan
preferensi yang berbeda pula. Tidak ada dua orang yang benar-benar memiliki
kebutuhan yang sama.
2. Mencoba memahami kebutuhan utama seorang karyawan. Memahami apa
yang dibutuhkan apalagi kebutuhan utama karyawan, merupakan perilaku atasan
yang dicintai bawahan.
3. Membantu seorang pegawai menentukan upaya mencapai kebutuhannya
melalui prestasi. Hal ini tidak sulit jika dilakukan dengan ketulusan, bukan pamrih.
d. Teori Penetapan Tujuan Locke
Suprihanto, dkk (2003:52-53) menyatakan bahwa teori penetapan tujuan
(goal-setting theory) ini merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa tujuantujuan
vang sifatnya spesifik atau sulit cenderung menghasilkan kinerja
(performance) yang lebih tinggi. Pencapaian tujuan dilakukan melalui usaha
partisipasi. Meskipun dcmikian pencapaian tujuan belum tentu dilakukan oleh
banyak orang. Dalam pencapaian lujuan yang partisipatif mempunyai dampak
positif bcrupa timbulnya penerimaan (acceptance), artinya sesulit apapun apabila
orang telah menerima suatu pekerjaan maka akan dijalankan dengan baik.
Sementara itu dalam pencapaian tujuan yang partisipatif dapat pula berdampak
ncgatif yaitu timbulnya superioritas pada orang-orang yang memiliki kemampuan
lebih tinggi.
Teori Penetapan Tujuan Locke mengatakan bahwa tujuan dan maksud
individu yang disadari adalah determinan utama perilaku. Perilaku orang akan
terus berlangsung sampai perilaku itu mencapai tingkat prcstasi yang lebih tinggi.
Menurut teori ini, prestasi akan tergantung pada tingkat kesukaran tujuan,
kerincian tujuan, dan komitmen seseorang terhadap tujuan. Tujuan yang lebih
sukar akan membuat orang frustrasi sehingga prestasinya juga rendah. Kerincian
tujuan akan mempengaruhi pemahaman seseorang terhadap tujuan di mana
seseorang lebih menyadari dan mcmahami tujuannya akan berprestasi lebih baik.
Sedangkan variabel komitmen terhadap tujuan menyangkut keterlibatan seseorang
terhadap tujuan. Seseorang yang memiliki komitmen tinggi bisa diharapkan akan
berprestasi lebih baik.
*) Sumber: Arep Ishak & Tanjung Hendri (2003:33)
Gambar 2.6
Model Ekspektansi
2.2.3. Manfaat Motivasi Kerja
Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga
produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena
bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan
dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam
skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya.
Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat
orang senang mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai/diakui, hal ini
terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termolivasi,
schingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan
yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya
akan dipantau Oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan
terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep Ishak &
Tanjung Hendri, 2003:16-17).
*) Sumber : Arep Ishak & Tanjung Hendri (2003:17)
Gambar 2.7
Ciri-ciri Orang yang Termotivasi
2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja
Menurut Frederick Herzberg (dalam Masithoh, 1998:20) mengembangkan
teori hierarki kcbutuhan Maslow menjadi teori dua factor tentang motivasi. Dua
faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan
satisfier atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang
disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation.
Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan factor
pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang
tersebut (kondisi intrinsik) antara lain:
1. Prestasi yang diraih (achievement)
2. Pengakuan orang lain (recognition)
3. Tanggungjawab (responsibility)
4. Peluang untuk maju (advancement)
5. Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self)
6. Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth)
Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) disebut juga hygiene
factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk
memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan
kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang
merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke
dalam faktor ekstrinsik, meliputi:
1. Kompensasi
2. Keamanan dan keselamatan kerja
3. Kondisi kerja
4. Status
5. Prosedur perusahaan
6. Mutu dari supevisi teknis dari hubungan interpersonal di antara teman
sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.
2.3 KINERJA
Kinerja pada dasarnya adaiah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka
memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik untuk individu
maupun keiompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja
organisasi (Robert L. Mathis & John H. Jackson, 2002:78).
2.3.1. Pengertian Kinerja
Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier (dalam
As’ad, 1991:47) sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu
pekerjaan. Lebih tegas lagt Lawler and Poter menyatakan bahwa kinerja adalah
“succesfull role achievement” yang diperoleh seseorang dari perbuatanperbuatannya
(As’ad, 1991:46-47). Dari batasan tersebut As’ad menyimpulkan
bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku
untuk pekerjaan yang bersangkutan. Sedang Suprihanto (dalam Srimulyo, 1999:33)
mengatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja seorang karyawan pada dasarnya
adaiah hasil kerja seseorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan
dengan kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran atau kinerja yang telah
ditentukan terlebih dahulu dan telah di sepakati bersama.
Menurut Vroom (dalam As’ad 1991:48), tingkat sejauh mana keberhasilan
seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya discbut “level of performance”.
Biasanya orang yang level of performance-nyd tinggi disebul sebagai orang yang
produktif, dan sebaliknya orang yang levelnya tidak mencapai standar dikatakan
sebagai tidak produktif atau berperformance rendah.
Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan oleh
seorang manajer atau pimpinan. Walaupun demikian, pelaksanaan kinerja yang
obyektif bukanlah tugas yang sederhana, Penilaian harus dihindarkan adanya “like
dan lislike” dari penilai, agar obyektifitas penilaian dapat terjaga. Kegiatan
penilaian ini anting, karena dapat digunakan untuk memperbaiki keputusankeputusan
personalia ian memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang
kinerja mereka.
Menurut T. Hani Handoko (dalam Thoyib, 1998:21-22) ada enam metode
penilaian kinerja karyawan:
1. Rating Scale, evaluasi hanya didasarkan pada pendapat penilai, yang
membandingkan hasil pekerjaan karyawan dengan kriteria yang dianggap penting
bagi pelaksanaan kerja.
2. Checklist, yang dimaksudkan dengan metode ini adalah untuk mengurangi
beban penilai. Penilai tinggal memilih kalimat-kalimal atau kata-kata yang
menggambarkan kinerja karyawan. Penilai biasanya atasan langsung. Pemberian
bobot sehingga dapat di skor. Metode ini bias memberikan suatu gambaran prestasi
kerja secara akurat, bila daftar penilaian berisi item-item yang memadai.
3. Metode peristiwa kritis (critical incident method), penilaian yang
berdasarkan catatan-catatan pemlai yang menggambarkan perilaku karyawan
sangat baik atau jelek dalam kaitannya dengan pelaksanaan kerja. Catatan-catatan
ini disebut peristiwa kitis. Metode ini sangat berguna dalam memberikan umpan
balik kepada karyawan, dan mengurangi kesalahan kesan terakhir.
4. Metode peninjauan lapangan (field review method), seseorang ahli
departemen main lapangan dan membantu para penyelia dalam penilaian mereka.
Spesialis jersonalia mendapatkan informasi khusus dari atasan langsung tentang
kinerja karyawan. Kemudian ahli itu mempersiapkan evaluasi atas dasar informasi
tersebut. Evaluasi dikirim kepada penyelia untuk di review, perubahan, persetujuan
dan serubahan dengan karyawan yang dinilai. Spesialis personalia bisa mencatat
penilaian pada tipe formulir penilaian apapun yang digunakan perusahaan.
5. Tes dan observasi prestasi kerja, bila jumlah pekerja terbatas, penilaian
irestasi kerja bisa didasarkan pada tes pengetahuan dan ketrarnpilan. Tes mungkin
tertulis atau peragaan ketrampilan. Agar berguna tes harus reliable dan valid.
Metode evaluasi kelompok ada tiga: ranking, grading, point allocation method.
6. Method ranking, penilai membandingkan satu dengan karyawan lain siapa
yang paling baik dan menempatkan setiap karyawan dalam urutan terbaik sampai
terjelek. Kelemahan metode ini adalah kesulitan untuk menentukan faktor-faktor
pembanding, subyek kesalahan kesan terakhir dan halo effect, kebaikannya
menyangkut kemudahan administrasi dan penjelasannya. Grading, metode
penilaian ini memisah-misahkan atau menyortir para karyawan dalam berbagai
klasifikasi yang berbeda, biasanya suatu proposi tertentu harus diletakkan pada
setiap kategori. Point location, merupakan bentuk lain dari grading penilai
dibenkan sejumlah nifai total dialokasikan di antara para karyawan dalam
kefompok. Para karyawan diberi nilai lebih besar dan pada para karyawan dengan
kinerja lebih jelek. Kebaikan dari rnetode ini, penilai dapat mengevaluasi
perbedaan rclatif di antara para karyawan, meskipun kelemahan-kelemahan efek
halo (halo effect) dan bias kesan terakhir masih ada.
Mengenai manfaat penilaian kinerja, Handoko (dalam Srimulyo, 1999: 34-
35) mengemukakan:
1. Perbaikan prestasi kerja atau kinerja.
Umpan balik pelaksanaan kerja mernungkinkan karyawan, manajer dan
departemen personalia dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan mereka untuk
meningkatkan prestasi.
2. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi.
Evaluasi prestasi keja membantu para pengambil keputusan dalam
mcnentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi iainnya.
3. Keputusan-keputusan penempatan.
Promosi dan transfer biasanya didasarkan atas prestasi kerja atau kinerja
masa lalu atau antisipasinya.
4. Perencanaan kebutuhan latihan dan pengembangan.
Prestasi kerja atau kinerja yang jelek mungkin menunjukkan perlunya
latihan. Demikian pula sebaliknya, kinerja yang baik mungkin mencerminkan
potensi yang harus dikembangkan.
5. Perencanaan dan pengembangan karir.
Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan-keputusan karir, yaitu tentang
jalur karir tertentu yang harus diteliti.
6. Mendeteksi penyimpangan proses staffing.
Prestasi kerja yang baik atau buruk adaiah mencerminkan kekuatan atau
kelemahan prosedur staffing departemen personalia.
7. Melihat ketidakakuratan informasional.
Prestasi kerja yanng jelek mungkin menunjukkan kesalahan-kesalahan
dalam informasi analisis jabatan, rencana sumberdaya manusia, atau komponenkomponen
lain system informasi manajemcn personalia. Menggantungkan pada
informasi yang tidakakurat dapat rnenyebabkan keputusan-kcpulusan personalia
tidak tepat.
8. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan.
Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan tanda kesalahan dalam desain
pekerjaan. Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.
9. Menjamin kesempatan kerja yang adil.
Penilaian prestasi kerja yang akurat akan menjamin keputusan-keputusan
penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.
10. Melihat tanlangan-tantangan ekternal.
Kadang-kadang prestasi seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar
lingkungan kerja, seperti keluarga, kesehatan, dan masalah-masalah pribadi
lainnya.
2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbcdaan kinerja antara
satu karyawan dengan karyawan, lainnya yang berada di bawah pengawasannya.
Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun
produktifitas mereka tidakiah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini
disebabkan oleh dua faktor (As’ad, 1991:49), yaitu : faktor individu dan situasi
kerja.
Menurut Gibson, et al (dalam Srimulyo, 1999:39), ada tiga perangkat
variabci yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, terdiri dari:
a. Kemampuan dan ketrampilan: mental dan fisik
b. Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian
c. demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin.
2. VariabeJ organisasional, terdiri dari:
a. Sumberdaya
b. Kepemimpinan
c. Imbalan
d. Struktur
e. Desain pekerjaan.
3. Variabel psikologis, terdiri dari:
a. Persepsi
b. Sikap
c. Kepribadian
d. Belajar
e. Motivasi.
Menurut Tiffin dan Me. Cormick (dalam Srimuiyo, 1999:40) ada dua
variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan
motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pcndidikan, serta faktor individual
lainnya.
2. Variabel situasional:
a. Faktor fisik dan pekerjaan, terdin dari; mctode kcrja, kondisi dan
desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran,
temperatur, dan fentilasi)
b. Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi,
sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.
Sutemeister (dalam Srimulyo, 1999:40-41) mengemukakan pendapatnya,
bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor Kemampuan
a. Pengetahuan : pendidikan, pengalaman, latihan dan minat
b. Ketrampilan : kecakapan dan kepribadian.
2. Faktor Motivasi
a. Kondisi social : organisasi formal dan informal, kepemimpinan dan
b. Serikat kerja kebutuhan individu : fisiologis, sosial dan egoistic c.
Kondisi fisik : lingkungan kerja.
Dari berbagai pendapat ahli tersebut, maka sesuai dengan penelitian ini,
maka kinerja karyawan dinilai oleh atasan langsung berdasarkan faktor-faktor yang
telah ditentukan terlebih dahulu.
Penggunaan Penilaian Kinerja Bagi Karyawan
Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses evaluasi seberapa baik karyawan mengerjakan pekerjaan mereka ketika dibandingkan dengan satu set standar, dan kemudian mengkomunikasikannya dengan para karyawan. Penilaian demikian ini juga disebut sebagai penilaian karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja, dan penilaian hasil. Riset menunjukkan penggunaan peniiaian kinerja yang luas untuk mengadministrasi honor dan gaji, memberikan umpan bafik kinerja, dan mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan karyawan.

Penilaian kinerja kadang-kadang merupakan kegiatan manajer yang paling tidak disukai, dan mungkin ada beberapa alasan untuk perasaan demikian. Tidak semua peniiaian kinerja bersifat positif, dan mendiskusikan nilai dengan karyawan yang nilainya buruk bisa menjadi lidak menyenangkan. Penilaian kinerja karyawan
memiliki dua penggunaan yang umum di dalam organisasi, dan keduanya bisa merupakan konflik yang potensial. Salah satu kegunaan adalah mengukur kinerja untuk tujuan memberikan penghargaan atau dengan kata lain untuk membuat keputusan administratif mengenai si karyawan.

Promosi atau pemecatan karyawan bisa tergantung pada hasil penilaian kinerja, yang sering membuat peniiaian kinerja menjadi sulit untuk dilakukan oleh para manajer. Kegunaan yang lainnya adalah untuk pengembangan potensi individu (Robert L. Mathis & John H. Jackson, 2002:81-83).
1. Penggunaan Administratif
Sistem peniiaian kinerja merupakan hubungan antara penghargaan yang diharapkan diterima oleh karyawan dengan produktivitas yang dihasilkan mereka. Hubungan ini dapat diperkirakan sebagai berikut:
Produktivitas penilaian kinerja penghargaan
Kompensasi berdasarkan peniiaian kinerja ini merupakan inti dari pemikiran bahwa gaji seharusnya diberikan untuk suatu pencapaian kinerja dan bukannya untuk senioritas. Di bawah sistem orientasi-kinerja ini, karyawan menerima kenaikan berdasarkan bagaimana mereka melaksanakan pekerjaan mereka. Peran
manajer secara historis adalah sebagai evaluator dari kinerja bawahan, yang kemudian mengarah pada rekomendasi kompensasi karyawan atau keputusan lainnya. Jika ada bagian dari proses ini yang gagal, di mana karyawan yang paling produktif tidak menerima imbalan yang lebih besar, akan menyebabkan timbulnya persepsi akan adanya ketidakadilan di dalam kompensasi karyawan.

Penggunaan administratif lainnya dari peniiaian kinerja adalah seperti keputusan untuk promosi, pemecatan, pengurangan, dan penugasan pindah tugas, yang sangat penting untuk para karyawan. Sebagai contoh, urutan pengurangan karyawan dapat diberikan alasan dengan penilaian kinerja. Untuk alasan ini, jika seorang pengusaha menyatakan bahwa keputusan ini dibuat berdasarkan peniiaian kinerja, maka hasii penilaian kinerja harus mendokumentasikan dengan jelas perbedaan-perbedaan dari kinerja seluruh karyawan. Sedangkan untuk promosi atau demosi berdasarkan kinerja juga harus didokumcnkan dengan peniiaian kinerja. Penilaian kinerja adalah penting ketika organisasi memberhentikan, mempromosikan, atau membayar orang-orang secara berbeda, karena hal-hal ini membutuhkan pembelaan yang kritis jika karyawan menuntut keputusan yang ada.
2. Penggunaan untuk Pengembangan
Penilaian kinerja dapat menjadi sumber informasi utama dan umpan balik untuk karyawan yang merupakan kunci bagi pengembangan mereka di masa mendatang. Di saat atasan mengidentiflkasikan kelemahan, potensi, dan kebutuhan pelatihan melalui umpan balik penilaian kinerja, mereka dapat memberi tahu
karyawan mengenai kcmajuan mereka, mendiskusikan ketrampilan apa yang perlu mereka kembangkan, dan melaksanakan perencanaan pengcmbangan. Peran manajer pada situasi ini adalah seperti pembina. Tugas pcmbina adalah memberi penghargaan kinerja yang baik berupa pengakuan, menerangkan tentang peningkatan yang diperlukan, dan menunjukkan pada karyawan bagaimana caranya meningkatkan diri.

Tujuan umpan balik pengembangan adalah untuk mengubah atau mendorong tingkah laku seseorang, bukannya untuk membandingkan individu-individu sebagaimana dalam kasus dalam penggunaan administratif yang digunakan untuk penilaian kinerja. Dorongan yang positif untuk tingkah laku yang diinginkan organisasi adalah bagian yang penting dan pengembangan. Fungsi pengembangan dari penilaian kinerja juga dapat mengeidentifikasikan karyawan mana yang ingin berkembang.

Tidak ada komentar: