Jumat, 27 Februari 2009

BERBAGAI PAHAM DALAM ISLAM

1.SYIAH

Syi’ah ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi'ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Shī`ī menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali.
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah Aliي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)[1]
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.[2] Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama diantara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. [3] Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an, Islam, Emulation (guru terbaik tentang Islam setelah Muhammad), dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah Nabi Muhammad.
Secara khusus, Muslim Syi'ah mengakui Ali bin Abi Thalib (sepupu Muhammad, menantu, dan kepala keluarga Ahlul Bait) sebagai penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan Khalifah yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung dari Nabi Muhammad, dimana perintah Muhammad berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang Khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
1.Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2.Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3.An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah pada keberadaan para nabi sama seperti muslimin lain. I’tikadnya tentang kenabian ialah:
Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Beliaulah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
4.Al-Imamah, bahwa bagi Syi'ah berarti pemimpin urusan agama dan dunia, yaitu seorang yang bisa menggantikan peran Nabi Muhammad SAW sebagai pemelihara syariah Islam, mewujudkan kebaikan dan ketenteraman umat. Al-hadits yang juga diriwayatkan Sunni: "Para imam setelahku ada dua belas, semuanya dari Quraisy".
5. Al-Ma’ad, bahwa Syi'ah mempercayai kehidupan akhirat.
Dua Belas Imam
Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1.Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2.Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4.Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6.Jafar bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7.Musa bin Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8.Ali bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9.Muhammad bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10.Ali bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11.Hasan bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12.Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi

2.AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

Berkembangnya Ahlussunah wal Jama'ah di Indonesia berbarengan dengan
berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa,
peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah
wal Jama'ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama'ah yang dikembangkan Walisongo masih
dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah
organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.

Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama'ah di Indonesia dengan karakter yang
khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU
adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan
normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai paham keagamaan yang
dianutnya.

KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan
konsep Ahlussunnah wal Jama'ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami'yyah
Nahdlah al-'Ulamâ'. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

(1) risalah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah
dan bid'ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan

(2) keharusan mengikuti mazhab empat, karena hidup bermazahab itu lebih
dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada
ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ
al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).

Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, KH. M. Hasyim Asy'ari dengan mengutip
Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai
jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', 'sunnah' adalah
sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana
dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para
sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab 'Uddah al-Murîd,
menurut syara', 'bid'ah' adalah munculnya perkara baru dalam agama yang
kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun
hakekatnya.

Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan
serangan keras kepada Muhammad 'Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn 'Abd
al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn 'Abd al-Hadi
yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk
kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh
Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas
al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah
bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber
perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke
mana-mana.

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama'ah tersebut
mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU.
Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama'ah
mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi
Ahlussunnah wal Jama'ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau
ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama
para sahabatnya.

Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama'ah terletak pada prinsip dasar
ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada
beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama'ah, di
antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH.
Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH.
Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.

Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama'ah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jama'ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in
yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian
Ahlussunah Wal Jama'ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan
para sahabatnya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama'ah adalah paham
keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi
dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta
rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf .

Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: "Hendaklah kamu sekalian
berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang
mendapat petunjuk" (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang
dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ' al-râsyidûn saja, tetapi juga
sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan
penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: "Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada
siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk".
(HR. al-Baihaqi).

Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah adalah
para tabi'in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi'it-tabi'in
(generasi sesudah tabi'in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal
sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: "Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin
di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi" (HR. Ibn 'Ady). Itu
sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama'ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang
diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi'in, dan generasi berikutnya.

Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa
Ahlussunnah wal Jama'ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw.
dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat
Islam. Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang
mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah adalah segolongan pengikut sunnah
Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas
garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain,
golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan
ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan
jihad.

Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama'ah
di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang
mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali dalam
bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi
dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang
tashawuf.

Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama'ah. Hal ini bukan berarti NU
menyalahkan mazhab-mazhab mu'tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa
dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih
terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah
sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama'ah.

Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian
lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang memiliki
metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan
atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya,
Ahlussunnah wal Jama'ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah
wal Jama'ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr
(cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu
generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam
menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti
bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas
dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.

Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam'iyah yang berakidah
Islam Ahlussunnah wal Jama'ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri
jam'iyyah NU, KH. M. Hasyim Asy'ari menegaskan, "Hai para ulama dan pemimpin
yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah dan pengikut imam
empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum
kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut
ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian
itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu
gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali
melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya
maka pencurilah namanya!"

Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur'an, sunnah (perkataan, perbuatan dan
taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para
sahabatnya dan sunnah al-khulafâ' al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, 'Umar ibn
al-Khaththab, 'Utsman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini,
maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jama'ah dimengerti sebagai 'para pengikut sunnah
Nabi dan ijma' para ulama'. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad
itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh
umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur'an maupun matn (isi)
hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai)
bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman
itu.

Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama'ah
yang dianut NU, :
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy
(al-Qur'an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah
dalil naqliy.

Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di
luar Islam.

Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas
seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.

Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân
secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang
dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat
meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga
berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

3. MU'ताजिलाह

Dalam pandangan kaum muslimin, al-Qur'an diyakini sebagai firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW; yang tertulis dalam mushaf, ditransformasikan secara mutawatir dari generasi ke generasi dan membacanya terhitung sebagai ibadah.
Mu'tazilah adalah aliran rasionalis (dalam pengertian lebih mendahulukan akal dari pada wahyu) yang dikenal dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Secara harfiah nama Mu'tazilah berarti yang mengasingkan diri. Kebanyakan ahli sejarah sepakat bahwa aliran ini bermula dari perdebatan Washil ibn Atha’ dengan gurunya al-Hasan al-Basri tentang kedudukan pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin.

Perdebatan ini dipicu dengan statemen aliran al-Khawarij yang menggolongkan pelaku dosa besar adalah kafir dan statemen al-Murji’ah yang mengatakan bahwa mereka tetap mukmin. Sedangkan imam al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa mereka itu adalah fasiq. Sementara Washil ibn Atha’ mengatakan bahwa kedudukan mereka bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi berada di antara dua kedudukan (al-manzilah baina manzilatain).

Perdebatan tersebut berakhir dengan memisahkannya Washil dari halaqah gurunya dan mengasingkan dirinya (I’tazala) di salah satu sudut masjid Basra. Kemudian langkah Washil ini diikuti oleh beberapa orang. Sehingga pada akhirnya imam al-Hasan al-Basri mengatakan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita (laqad i’tazala anna Washil)”. Maka semenjak itu Washil dan pengikutnya disebut Mu'tazilah. (Henri Shalahuddin, Mawqif Ahli l-Sunnah wa l-Jama’ah min al-Ushul al-Khamsah li l-Mu’tazilah: Dirasah Naqdiyyah (Pandangan Ahlussunah wal Jama'ah terhadap Prinsip Ushul Khamsah Mu'tazilah: Studi Kritis), skripsi s1, 1999, Fakultas Ushuluddin, Departemen Perbandingan Agama, ISID, Pondok Modern Darussalam Gontor, 121 hal, belum dipublikasikan).

Di antara pandangan Mu'tazilah yang masyhur adalah bahwa al-Qur'an merupakan firman Allah SWT; namun kedudukan al-Qur'an menurut mereka adalah makhluk, bukan azali dan qadim seperti yang diyakini oleh kaum muslimin umumnya. Pandangan ini kemudian dipaksakan menjadi madzhab resmi negara oleh dinasti Abbasyiah selama 62 tahun, dari tahun 170H hingga tahun 232H, yaitu pada masa-masa khilafat al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq.

Ribuan ulama Ahlussunnah yang menolak paham makhluknya al-Qur'an dihadapkan ke mahkamah, disiksa, dipenjara bahkan dibunuh; seperti yang menimpa Imam Ahmad ibnu Hanbal (pendiri madzhab Hanbali dalam fiqih).
Namun demikian, belum ada satupun ulama yang menganggap Mu'tazilah telah keluar dari batasan Islam, seperti halnya kelompok Ahmadiyyah. Sebab bagaimanapun Mu'tazilah tetap mengakui kewahyuan al-Qur'an, tidak pernah meragukan kedudukan mushaf Usmani, tidak mempermasalahkan bahasa Arab sebagai mediator bahasa wahyu dan (-apalagi-) menganggapnya sebagai produk budaya maupun teks manusiawi seperti yang telah jamak disuarakan Islam Liberal dan diajarkan di berbagai perguruan tinggi yang terkooptasi paham liberal.

Bahkan banyak di antara pemuka Mu'tazilah yang tetap bermakmum di belakang ulama yang bermartabat, seperti al-Qadhi Abdul Jabbar (w 415H/1023M), pemuka Mu’tazilah yang bermadzhab Syafii; Muhammad ibn Abdul Wahhab ibn Salam al-Jubai, pemuka Mu’tazilah yang selalu memuliakan Khulafa' Rasyidun penerus Nabi; Ahmad ibn Ali ibn Bayghajur (w 326H), cendekiawan Mu’tazilah di bidang ilmu bahasa Arab dan Fiqh yang terkenal kezuhudannya, ––menurut Ibnu Hazm–– juga bermadzhab Syafii.

Anehnya, Islam Liberal seringkali mengklaim bahwa paham dan aliran Islam liberal mewarisi tradisi Mu'tazilah. Apakah klaim mereka ini dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Benarkah konsep Islam liberal tentang al-Qur'an tidak berbeda dengan Mu'tazilah?
Dimanakah perbedaan kedua konsep ini secara substantif? Bagaimanakah pemuka Mu'tazilah menafsirkan al-Qur'an?

Apakah mereka juga menggunakan tafsir feminis atau menggunakan metode kritik historis seperti yang sering digunakan tokoh-tokoh liberal?

Silahkan mengikuti ulasan lebih lanjut dalam diskusi sabtuan INSISTS. Diskusi ini juga akan membahas Tafsir al-Kasysyaf 'an Haqaiq al-Tanzil wa 'Uyunil Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil yang ditulis oleh pemuka Mu'tazilah, Abul Qasim Jarullah Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari tentang ayat-ayat yang menjadi isu sentral Islam liberal, seperti hukum waris, jilbab, iddah, hudud dsb.

4. जब्बरियाह

Makna `al-jabar' ialah menafikan perbuatan hamba dan menyandarkan perbuatan itu kepada Allah Taala.
Pemikiran `al-jabar' bukanlah berasal dari pemikiran Arab. Ia telah dikemukakan oleh al-Ja'd bin Dirham dari kalangan Yahudi, kemudian telah di kemukakan pula dari al-Ja'd oleh Jahm bin Safwan.
Pemikiran ini tersebar pada awal pemerintahan Banai Umaiyah, hingga akhirnya menjadi sebuah mazhab. Kelompok Jabbariyah ini meinsbahkan diri mereka kepada Jahm bin Safwan, kerana beliau dianggap sebagai pendakwah besar aliran ini. Oleh itu, mazhab ini dinamakan juga dengan al-Jahmiyah.
Jahm adalah hamba kepada bani Rasib dari penduduk Khurasan yang bermukim di Kufah. Pidatonya telah meninggalkan kesan yang besar kepada para pengikutnya. Dan beliau telah muncul dengan mazhabnya di Tirmiz. Beliau telah menjadi menteri kepada Haris bin Suraij. Ketika beliau keluar memerangi Bani Umaiyah, dan tenteranya kalah di atas tangan Salim bin Ahwaz al-Mazini seorang yang diutus sebagai amil Bani Umaiyah di Khurasan. Manakala al-Jahm pula telah ditawan dan dibunuh pada tahun 128 Hijrah.
Asas-asas mazhab Jabbariyah
Insan itu digagahi /terpaksa di dalam perbuatannya.Manusia tida mempunyai kemampuan, kekuasaan dan ikhtiar. Allah Taala menciptakan perbuatan-perbuatan sebagaimana diciptakannya pada benda-benda mati (jamad).
Menurut pendefinisian saya, pendapat pertama mahrus itu namanya Jabbariyah, soalnya Jabbariyah kadang bisa diartikan memaksa juga. Saya tidak setuju dengan pendapat pertama, soalnya disitu seolah2 kehendak, ikhtiar dan perilaku manusia tidak berperan dalam takdir Allah. Karena disitu ada kata-kata 'Semua hal sudah ditakdirkan', maka timbul kesan pemaksaan, sehingga seolah Allah lah menyesatkan manusia. Namun kalau yang dimaksudkan dengan 'semua sudah ditakdirkan' itu adalah semua kejadian di semua tempat dan waktu di dunia ini tercatat dalam Laul Mahfuhdz dan pengetahuan Allah tidak dirubah2 oleh perbuatan manusia, karena sifatnya kekal, saya setuju.

Pendapat kedua, saya setuju dengan catatan. Menurut buku2 yang saya baca, namanya bukan Jabariyah tapi Qodariyah (Cuma beda pendefinisian saja.) . Dengan catatan, bahwa usaha / ikhtiar, perbuatan dan nasib manusia tidak bisa terlepas dari kekuasaan Allah juga. Atau dengan kata lain, peran Allah tidak bisa dinafikan dalam hal-hal tersebut.

Dalam kenyataannya, kehendak manusia sendiri kan sering berubah2 oleh situasi di sekelilingnya (yang tentu saja, situasi tersebut tidak lepas dari Sunatullah). Umpamanya ada orang yang ingin mengirit uang, begitu dia melewati restoran yang enak, akhirnya keinginannya berubah dan dia menghabiskan banyak uang untuk makan2 di situ. Atau seseorang santri yang di pesantrennya alim, namun begitu kerja di pemerintahan, ternyata keinginannya untuk taat berubah menjadi keinginan untuk korupsi, dan akhirnya dia korupsi juga. Di sini terlihat bahwa kehendak dan nasib yang terjadi pada manusia tidak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari Allah juga.

5.कोदारियाह

Mereka adalah golongan yang mengingkari ilmu Alloh terhadap perbuatan-perbuatan hamba-Nya sebelum terjadi. Mereka mengatakan bahwa Alloh tidak menakdirkan dan tidak mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, Alloh mengetahui setelah perbuatan itu terjadi/dilakukan.
Mereka juga mengatakan bahwa sesungguhnya Alloh tidak menciptakan dan berkuasa atas perbuatan hamba-Nya. Diriwayatkan oleh Al-Lalikai dari Imam Syafi’i sesungguhnya dia mengatakan: ”Al-Qodary adalah seseorang yang mengucapkan bahwa sesungguh-Nya Alloh tidak menciptakan sesuatu perbuatan sampai perbuatan itu dilakukan”.
Diriwayatkan juga oleh Abu Tsaur dia mengatakan ketika ditanya tentang golongan Al-Qodariyah: ”Mereka adalah orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Alloh tidak menciptakan perbuatan hamba-Nya, Alloh tidak menakdirkan dan menciptakan perbuatan maksiat”.
Disebutkan oleh Imam An-Nawawi bahwa mereka dinamakan Al-Qodariyah karena disebabkan pengingkarannya kepada taqdir dan sebagian lainnya menyebutkan karena mereka mengatakan bahwa manusia berkuasa penuh atas apa yang mereka perbuat.
Orang pertama yang mengatakan faham Al-Qodariyah adalah Ma’bad Al-Juhany ada generasi akhir Shohabat Rosululloh j.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Yahya bin Ya’mar sesungguhnya dia berkata: “Orang pertama yang mengatakan faham Al Qodariyah adalah Ma’bad Al-Juhany di Bashroh”.
Ma’bad mengambil faham dan perkataan tersebut dari seorang laki-laki yang beragama Nashrani bernama Sausan, dan perkataan Ma’bad diambil/diwarisi oleh Gailan Ad-Dimsyiqy.
Sebagaimana riwayat dari Imam Al-Auza’i, beliau berkata: “Orang pertama yang mengatakan faham Al-Qodariyah adalah seorang laki-laki penduduk negeri Iraq yang bernama Sausan, dia adalah seorang Nashroni yang masuk Islam kemudian kembali menjadi Nashrani. Perkataannya diambil oleh Ma’bad Al-Juhany, kemudian perkataan Ma’bad diambil oleh Gailan Ad-Dimsyiqy”
Pokok dasar bid’ah Al Qodariyah terbagi menjadi dua macam:
1. Pengingkaran terhadap ilmu Alloh sebelum terjadinya sesuatu yaitu Alloh tidak mengetahui perbuatan hambanya sampai perbuatan itu terjadi.
2. Sesungguhnya seorang hamba itu yang telah mengadakan/menciptakan perbuatannya sendiri.
Para ulama menyebutkan bahwa sesungguhnya madzhab Al-Qodariyah telah musnah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dari Imam Qurthubi , dia berkata: ”Madzhab ini sungguh telah musnah, kami tidak mengetahui seseorang pada generasi akhir yang menasabkan kepadanya (madzhab Al-Qodariyah). Adapun pada saat ini Al-Qodariyah mereka bersepakat bahwa sesungguhnya Alloh mengilmui (mengetahui) perbuatan hamba-Nya sebelum terjadi, akan tetapi mereka menyelisihi manhaj Salaf (Ahlussunnah wal Jama’ah) dalam perkara yang mereka anggap dan yakini yaitu: Bahwa seorang hamba berkuasa penuh dalam perbuatannya dan apa yang diperbuat oleh seorang hamba itu diatas kekuasaanDiriwayatkan juga oleh Abu Bakar Al-Marrudzi bahwa dia berkata: ”Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad) tentang orang yang berfaham Al-Qodariyah, beliau tidak mengkafirkan apabila menetapkan ilmu Alloh”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menerangkan perkataan para ulama Salaf (Ahlussunnah wal Jama’ah) dalam menghukumi pengkafiran Al-Qodariyah: ”Mereka yang menafikan pencacatan dan ilmu Alloh maka para ulama mengkafirkannya, adapun yang menetapkan ilmu Alloh tetapi tidak menetapkan bahwa Alloh telah menciptakan perbuatan-perbuatan hambanya para ulama tidak mengkafirkannya”.

6.खावारिज

Khawarij adalah bentuk jamak dari kharij. Kata ini berarti orang yang menyempal dari kepatuhannya kepada pemimpin atau imam yang sah. Seorang Khawarij mendemonstrasikan ketidakpatuhannya, dan membentuk wilayah tersendiri yang eksklusif. Ulama fiqih menyebut kaum Khawarij dengan istilah al-baghy atau pemberontak. Kaum Khawarij adalah sekelompok kaum Syi'ah yang menyempal dari kepemimpinan 'Ali ibn Abi Thalib. Mereka tidak menyetujui tahkim (arbitrase) untuk perdamaian dalam perang Siffin, sebagaimana masyhur dalam sejarah.
Kaum Khawarij memang menyempal dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya. Rasulullah mengeluarkan perintah perang melawan kaum Khawarij, sebagaimana disebutkan di dalam beberapa hadits sahih. Namun, walaupun begitu, kaum Khawarij tidak tergolong sengaja berbuat dusta. Bahkan, menurut para ulama, mereka dikenal jujur. Kaum Khawarij memandang sikap berdusta sebagai dosa besar yang menyebabkan seorang Muslim menjadi kafir, sekalipun diterapkan sekedar untuk bercerita fiktif tentang sesama manusia yang bukan Nabi. Saya belum menemukan satu riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Kaum Khawarij berbuat dusta tentang diri Rasulullah.
Ibn Taymiyah memberikan pernyataan senada: "Tidak seorang pun di muka bumi ini yang lebih jujur dan lebih adil daripada kaum Khawarij."2 Kaum Khawarij, menurut ibn Taymiyah, tidak pernah sengaja berbuat dusta. Bahkan mereka dikenal sangat jujur, sehingga ada yang mengatakan bahwa hadits kaum Khawarij adalah yang paling sahih.
Kaum Khawarij dikenal pemberani dalam membela kebenaran dan menghadapi para penguasa. Mereka jujur dan polos. Leluhur mereka berasal dari Arab murni, yang secara alamiah mewarisi sifat dan karakter itu. Mereka juga dikenal banyak beribadah. Rasulullah bersabda: "Shalatmu terlihat hina bila dibanding shalat mereka." Namun, dengan sifat mereka yang unik itu, mereka dianggap sesat karena membikin bid'ah, yang timbul dari kesalahan tafsir terhadap sebagian ayat al-Qur'an dan hadits.
Kaum Rafidhah merupakan kebalikan kaum Khawarij. Bid'ah yang dilakukan kaum Rafidhah timbul dari sikap pura-pura Islam (zindiq) dan dari kekafiran (ilhad). Mereka menghalalkan sikap dusta, yang disebut taqiyyah, sebagai ajaran agama. Mereka membikin hadits-hadits palsu untuk membenarkan sikap mengutamakan Ahlul Bayt dan menghinakan para sahabat. Mereka berlebih-lebihan dalam melakukan semua itu, sesuka hati, hingga ke batas ekstrimitas yang memalukan. Ini diakui oleh ibn Abil Hadid di dalam buku komentarnya terhadap kitab Nahj al-Balaghah karya 'Ali ibn Abi Thalib. Ibn Abil Hadid menulis begini: "Ketahuilah, hadits-hadits palsu yang menerangkan keutamaan (Ahlul Bait) berasal dari orang-orang Syi'ah."
Penganut Rafidhah umumnya para agamawan politik yang menjilat kepada para penguasa, dengan cara berkhianat kepada ummat. Sejarah mencatat pengkhianatan mereka. Misalnya, ketika Hulagu Khan hendak menaklukkan Baghdad, sejumlah tokoh Rafidhah seperti Nasiruddin al Thusi, Ibn al-Alqami dan ibn Abil Hadid, berusaha mengelabui al-Mu'tashim, khalifah 'Abbasiyah waktu itu.
Itu sebabnya, ulama hadits menerima riwayat kaum Khawarij, tetapi menolak riwayat kaum Rafidhah. Jelasnya, ada dua sebab. Pertama, bid'ah yang diciptakan kaum Khawarij timbul dari kebodohan dan kesalahan mentakwil ayat al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan bid'ah kaum Rafidhah timbul dari sikap zindiq dan ilhad. Kedua, kaum Khawarij itu jujur serta mengharamkan sikap berdusta kepada sesama manusia, apalagi mengenai Rasulullah saw. Sementara itu, kaum Rafidhah bahkan menjadikan cara berdusta sebagai agama, selama cara itu dapat menguatkan pendapat bid'ah mereka.

Tidak ada komentar: